Helsinki, Finlandia
oleh: Gilang Mentari Hamidy, Master Degree of Security and Cloud Computing
Pada hari Kamis, 4 Juli 2019, PPI Finlandia berkesempatan untuk menghadiri pemaparan tentang Hubungan ASEAN dan Uni Eropa di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Finlandia dan Estonia atas undangan dari pihak kedutaan sebagai perwakilan mahasiswa Indonesia di Finlandia. Pemaparan dibawakan oleh Dra. Evi Fitriani, M.A., Ph.D, dosen Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
Ibu Evi berkesempatan untuk hadir di Helsinki untuk mendampingi Duta Besar Indonesia beserta rombongan dalam melakukan kunjungan kerja ke kawasan perbatasan Finlandia – Rusia sebagai bagian dari studi untuk Indonesia dalam pengelolaan perbatasan darat antar negara. Selain itu beliau juga melakukan penelitian ilmiah tentang hubungan Uni Eropa dengan ASEAN bersama dengan universitas-universitas di lingkungan Eropa.
Dalam pemaparannya, hubungan multilateral antara negara-negara ASEAN dengan Uni Eropa merupakan hubungan yang berbeda dan tidak bisa disamaratakan. Tujuan awal pembentukan ASEAN itu sendiri adalah untuk meningkatkan stabilitas regional di kawasan yang baru saja memperoleh kemerdekaan. Sementara, negara-negara Uni Eropa memberikan sebagian kedaulatannya kepada Uni Eropa, khususnya dalam bidang ekonomi. Uni Eropa, yang memiliki fungsi pemerintahan lengkap termasuk legislatif, eksekutif, dan yudikatif berbentuk demokrasi, berhak dan dapat menerbitkan kebijakan-kebijakan yang mengikat terhadap negara-negara anggotanya.
Ini kontras berbeda dengan ASEAN di mana tidak ada penyerahan sebagian kedaulatan dari negara-negara anggotanya kepada badan ASEAN. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang dicetuskan ASEAN tidaklah bersifat mengikat kepada negara-negara anggotanya. Kebijakan ASEAN bukan merupakan produk hukum yang berlaku bagi negara-negara anggota ASEAN. Keputusan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan tersebut kembali lagi kepada masing-masing negara anggota ASEAN. Oleh karena itu, terdapat perbedaan dalam menetapkan dan menerapkan kesepakatan dalam forum antara kedua kawasan ini.
Bagi Uni Eropa, Kawasan Asia Tenggara dipandang sebagai gerbang hubungan ekonomi antara Eropa dengan Asia Timur sebab negara-negara Asia Tenggara dekat dengan negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. ASEAN sebagai organisasi multilateral kawasan Asia Tenggara menjadi pintu awal perundingan antara Uni Eropa dengan negara-negara Asia Tenggara.
Namun, perbedaan fundamental antara sifat kawasan Uni Eropa dan ASEAN yang dipaparkan di atas menjadi penghambat perundingan ekonomi kedua belah pihak. Uni Eropa sebagai pemilik kedaulatan ekonomi negara-negara anggotanya harus berhadapan dengan masing-masing negara anggota ASEAN yang memiliki pendapat berbeda-beda dan sulit untuk mencapai kesepakatan yang seragam. Kendala ini menjadikan perundingan pasar bebas antara Uni Eropa dengan ASEAN terhenti.
Untuk memitigasi hambatan tersebut dan mempertahankan kepentingan ekonominya, Uni Eropa merubah strategi perundingan multilateral menjadi perundingan bilateral dengan masing-masing negara ASEAN. Perundingan ekonomi dimulai dari Singapura yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar saat ini di Asia Tenggara. Perundingan telah ditandatangani pada akhir 2018 kemarin, akan segera diratifikasi dan berlaku. Setelah dengan Singapura, Uni Eropa mulai menjajaki potensi perundingan dengan Indonesia dan Vietnam.
Perundingan dengan Indonesia pun memiliki beberapa kendalanya tersendiri. Indonesia tidak menghendaki adanya non-tariff barrier yang menjadi pembatasan terhadap produk-produk Indonesia yang dapat diekspor ke Uni Eropa. Oleh karenanya, perundingan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antar Uni Eropa dengan Indonesia masih berlangsung hingga saat ini. Kendati perundingan kerjasama ekonomi antara Uni Eropa dan negara-negara Asia Tenggara mulai berlangsung kembali, langkah yang diambil Uni Eropa ini mengundang kritikan dari berbagai pihak.
Pertama, keputusan Uni Eropa yang merubah mekansime perundingan dari multilateral menjadi bilateral bertolak belakang dengan statement Uni Eropa yang mendukung ASEAN sebagai pemersatu kawasan Asia Tenggara. Dengan dibuatnya perjanjian-perjanjian bilateral dengan masing-masing negara Asia Tenggara dikhawatirkan malah akan menimbulkan kesenjangan politik dan ekonomi di antara negara-negara ASEAN yang dapat mempengaruhi stabilitas regional.
Kedua, perundingan kerja sama ekonomi yang dipelopori oleh Uni Eropa seringkali tidak menguntungkan kedua belah pihak karena tindakan proteksionisme Uni Eropa bagi negara-negara anggotanya dengan menetapkan non-tariff barrier dalam butir-butir perjanjian yang diusulkan. Peraturan-peraturan protektif inilah yang kerap memperkeruh perundingan multilateral karena sebaliknya, negara-negara anggota ASEAN pun ingin memproteksi ekonomi dalam negeri mereka. Sebagai informasi tambahan, non-tariff barrier adalah segala kewajiban non-pajak yang ditetapkan dalam sebuah perdagangan internasional, salah satunya adalah peraturan bagaimana barang-barang itu di-manufaktur, misalkan: jenis bahan bakunya, jumlah emisi karbon, dan kesejahteraan buruhnya.
Sebagai salah satu kawasan ekonomi strategis dengan potensi pasar yang besar, Asia Tenggara tetap akan menjadi potential trade partner negara-negara barat termasuk Uni Eropa. Dapat dipastikan bahwa kerja sama antara Uni Eropa dan negara-negara Asia Tenggara, baik secara multilateral di bawah naungan ASEAN maupun bilateral, akan terus berkembang dan berlangsung. Hal ini juga akan menjadi tantangan bagi ASEAN dan negara-negara anggotanya karena terdapat perbedaan ekonomi yang cukup kontras di kawasan Asia Tenggara yang bisa memicu ketegangan-ketegangan antar negara di kemudian hari. ASEAN sebagai organisasi antar negara yang merangkul negara-negara kawasan Asia Tenggara dipandang sebagai kunci utama untuk tetap mempertahankan stabilitas kawasan di tengah arus pasar bebas dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung.
Comments