top of page
  • Writer's picturePPI Finlandia

Buku tentang ketimpangan sosial dan penjajahan di masa lalu

Updated: May 20, 2020

HARI BUKU NASIONAL Indonesia 2020

Kolaborasi Diaspora Indonesia Finland-Estonia (DIFE) dan Perkumpulan Pelajar Indonesia Finlandia (PPIF) Ulasan Buku #1 oleh Leroy Christian Purnama


Leroy Christian Purnama, atau yang akrab dipanggil Leroy adalah seorang diaspora muda Indonesia yang telah menamatkan studi S2 dan kini menetap di Helsinki. Ada 2 buku favorit yang sangat menginspirasi dirinya hingga saat ini, “Panggil Aku Kartini Saja” (karya Pramoedya Ananta Toer) dan “Max Havelaar” (karya Eduard Douwes Dekker a.k.a Multatuli). Pasti kawan-kawan juga sudah tak asing dengan judul buku-buku ini. Apakah sudah membacanya?


Buku “ Panggil Aku Kartini Saja” adalah sebuah karya biografi tentang R.A Kartini, seorang pahlawan bagi kemanusiaan, bangsa dan kaum wanita. Di dalam buku ini, seseorang dapat mengenal lebih jauh sosok R.A Kartini, mulai dari latar belakang, kondisi psikologis dan buah pikirannya yang mungkin terlalu progresif di zaman tersebut. Selain itu, buku ini juga menonjolkan sisi R.A Kartini yang humanis, terlepas dari status sosial, kebangsaan, suku dan agamanya.


Buku favorit kedua Leroy, “Max Havelaar”, sangat berpengaruh tidak saja pada bangsa kita tetapi juga peradaban manusia. Buku ini adalah salah satu literatur yang turut berperan dalam menghapuskan kolonialisme di dunia. Keadaan korup pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang didukung oleh penguasa lokal pribumi tergambar dengan jelas dalam buku tersebut. Tanpa buku ini, mungkin pergerakan kebangkitan nasional yang dimulai oleh para founding fathers kita tidak akan terjadi. Bagi Leroy, Eduard Douwes Dekker merupakan salah satu penulis jenius terbesar dalam sejarah umat manusia.


Menurut Leroy, banyak sekali kutipan dari kedua buku yang sangat menginspirasi dalam kehidupannya. “Saya sangat menyukai bagian dimana Multatuli bercerita tentang Saija & Adinda, walau sejatinya seluruh bagian sangatlah menginspirasi. Sangatlah sulit untuk mengutip beberapa bagian saja. Buku ini WAJIB dibaca secara keseluruhan,” tambahnya lagi.


Nah, Leroy berharap dengan ulasan buku ini, kawan-kawan tertarik untuk kembali membaca literatur-literatur klasik. Selain itu, ia berpesan, “Sebelum melihat diri sendiri dan orang lain dari sisi agama, kesukuan, strata sosial, warna kulit, pandangan politik, dan kewarganegaraan,ingatlah bahwa kita semua sejatinya adalah manusia. Janganlah lupa untuk terlebih dahulu menjadi seorang manusia”, ujarnya bersemangat. Wah, terima kasih banyak Leroy sudah berbagi dengan kita semua. Sangat menginspirasi!


Terakhir, inilah salah satu bagian dari buku "Panggil Aku Kartini Saja" yang Leroy kutip,


"Agama dimaksudkan sebagai karunia bagi umat manusia, untuk mengadakan ikatan antara makhluk-makhluk Tuhan. Kita semua adalah saudara, bukan karena kita mempunyai satu leluhur, yaitu leluhur manusia, tapi karena kita semua anak-anak dari satu Bapa, dari Dia, yang bertakhta di langit sana. Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya tiada satu agama pun di atas dunia ini.


Karena agama-agama ini, yang justru harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad yang telah lewat menjadi biang-keladi peperangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam. Orang-orang dari orangtua yang sama berdiri berhadap-hadapan, karena cara mereka beribadah kepada Tuhan yang sama berbeda. Orang-orang dengan hati mereka yang terikat oleh kasih-sayang yang mesra, berpalingan satu daripada yang lain membawa kecewa. Perbedaan gereja, di mana Tuhan yang sama itu juga dipanggil, telah menjadi tembok pemisah yang mendebarkan jantung mereka.


Benarkah agama menjadi karunia bagi umat manusia? Sering pertanyaan itu timbul dalam hatiku yang ragu. Agama yang harusnya melindungi kita dari dosa ini, berapa saja kejahatan yang orang telah lakukan atas namaMu!"

- R. A. Kartini, Surat 6 November 1899, kepada Estelle Zeehandelaar. (Panggil Aku Kartini Saja, halaman 146.)


"Kami hendak bebaskan diri kami sama sekali dari ikatan-ikatan yang melekat adat kuno kami yang mau lekat saja ini, yang pengaruhnya tak dapat kami hindari; segala prasangka yang masih lekat pada kami dan menghambat kami akan kami kebaskan, agar jiwa kami menjadi segar dan bebas, agar makin lebarlah sayap dapat dikepakkan, demi kebaikan usaha yang akan kami lakukan.

Itulah sebabnya kami harus tinggal di lingkungan lain negeri asing dengan kebiasaan dan adatnya serta keadaan-keadaan yang lain."

- R. A. Kartini, Surat, 10 Juni 1902, kepada Nyonya Abendanon. (Panggil Aku Kartini Saja, halaman 147.)


38 views0 comments
bottom of page